Kamis, Juli 23, 2009

I Gusti Agung Pasek Gelgel Diangkat Menjadi Raja

DIANGKATNYA

I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

MENJADI RAJA

Karena para arya tidak bisa mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Bali, yang penduduknya mayoritas orang Bali Aga, sehingga Bali dalam Kondisi yang labil. Atas prakarsa Ki Patih Ulung, lalu dikirimlah perutusan dari Bali menghadap Raja. Perutusan itu langsung dipimpin oleh Ki patih Ulung yang anggotanya terdiri dari sanak saudaranya yaitu I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, I Gusti Pasek Padang Subrada, I Gusti Bendesa, I Gusti Agung Pasek Gelgel, dan lain-lainnya. Setelah pembicaraan yang dilakukan oleh perutusan dari Bali dengan Majapahit, akhirnya menyerahkan kekuasaan pulau Bali kepada sanak saudara Ki Patih Ulung, sebelum Majapahit mengangkat seorang Adhipati untuk Bali, selama itulah Ki Patih Ulung Berkuasa.

Setelah perutusan itu tiba di Bali segeralah diadakan Rapat besar antara sanak saudara Ki Patih Ulung dengan tokoh – tokoh Bali Aga. Di dalam rapat tersebut di sepakati secara bulat mengangkat I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pemimpin Bali, sebab itu pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 M) I Gusti Agung Pasek Gelgel di nobatkan menjadi Raja di Bali berkedudukan di Gelgel dan berkelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Dengan diangkatnya I Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Raja keadaan Bali berangsur – angsur menjadi membaik, persatuan dan kesatuan tampak mulai muncul kembali sehingga pemerintahan dapat dijalankan kembali, walaupun di sana sini masih perlu dibenahi, demi kesejahteraan Rakyar Bali. Di dalam menjalankan tugasnya selaku pemimpin di Bali. Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel disamping di bantu oleh sanak saudaranya, juga dibantu oleh tokoh – tokoh Bali Aga serta memperoleh simpati dari Para Arya yang berasal dari Majapahit.

Setelah beberapa tahun Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel bertahta sebagai Raja di Bali. Ki Patih Ulung bersama sanak saudaranya kembali ke Majapahit untuk memperoleh informasi apakah Raja majapahit akan menetapkan seorang adhipati untuk daerah Bali. Mengenai hal itu Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada di isyaratkan akan menetapakan seorang adhipati dalam waktu dekat. Kemudian pada purnama sasih kapat tahun Çaka 1272 (Bulan Oktober 1350) Raja majapahit secara terpusat di Majapahit melantik 6 orang adhipati yaitu, Çri Juru untuk Belambangan, Çri Bhima Çakti untuk Pesuruan, Arya Kuda Panolin alias Kuda Pengasih untuk Madura, Arya Dhamar untuk Palembang, Çri Kepakisat (seorang perempuan) untuk Sumbawa, Çri Kresna Kepakisan untuk Bali. Çri Kresna Kepakisan adalah seorang putra bungsu dari Çri Soma Kepakisan. Dengan diangkatnya Çri Kresna Kepakisan maka pucuk kepemimpinan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel berpindah tangan kepada Çri Kresna Kepakisan, dengan demikian berakhirlah masa jabatan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pemimpin di Bali selam 7 tahun. Adhipati Çri Kresna Kepakisan berkedudukan di Sampelangan, daerah Gianyar, dan dipilihnya desa Sampelangan atas petunjuk dari Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada, karena di desa tersebut pasukan Majapahit dikonsentrasikan untuk menyerang Ibu Kota Kerajaan Bali pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 M).

Adhipati Çri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sampelangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Sampelangan. Mereka lalu melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata. Pemeberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peladu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad. Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa

Kemudian Adhipati Sampelangan mencoba memadamkan pemberontakan ini dengan cara mengerahkan pasukan yang berasal dari Majapahit, namun usaha tersebut gagal, hal itu menyebabkan beliau putus asa, sebab itu beliau berniat meletakkna jabatan dan kembali ke Majapahit. Namun sebelum mengambil keputusan, beliau melaporkan situasi ini ke Majapahit, melalui utusan itu Adhipati Sampelangan menyampaikan niat untuk meletakkan jabatannya. Raja Majapahit di damping oleh Maha patih Gajah Mada menerima utusan itu dengan baik, tetapi menolak niat Adhipati sampelangan untuk mengundurkan diri dan tetap menduduki jabatannya. Tatkala itu Maha Patih gajah Mada mengatakan “samapai dimana kekuatan orang-orang Bali Aga yang pernah dikalahkan dulu”.

Melalui utusan yang dikirimkan oleh Adhipati Samplangan ke Majapahit, Raja Majapahit menganugrahkan Adhipati Sampelangan seperangkat pakaina kebesaran, pending emas, keris Ki Ganja Dungkul dan satu keropak lontar yang memuat Sasananing Nithi Praja (Pedoman Kepemimpinan terhadap rakyat). Sedangkan Maha Patih Gajah Mada mengirimkan sepucuk surat untuk adhipati Sampelangan, yang berisi petunjuk untuk mengadakan konsultasi dan kerjasama dengan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudarannya. Menurut Patih Gajah Mada, orang-orang bali Aga masih mengagap Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudaranya adalah pemimpin mereka yang disegani dan dihormati. Apabila strategi ini dijalankan, gajah Mada yakin orang-orang Bali Aga akan mau tuntuk dengan pimpinan adhipati.

Adhipati Sampelangan sangat senang menerima angurah yang diberikan oleh Raja Majapahit dan sepucuk surat yang diberikan oleh Maha Patih Gajah Mada. Beliau segera mengadakan rapat. Disamping para mantra dan pejabat lainnya, di dalam pesauan itu hadir juga Ki Patih Ulung bersama Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, Igusti Pangeran Pasek Tohjiwa, Igusti Pasek Padang Subrada, I Gusti Bendesa dan sanak saudara lainnya. Dalam rapat tersebut adhipati mengutus seorang untuk pergi ke Tampurhyang untuk melakukan perdamaian dan beliau menujuk Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel untuk pergi ke Tampurhyang, mengiat orang-orang Bali Aga sangat menghormati dan disegani oleh orang-orang bali Aga dibantu oleh I Gusti Panegran Pasek Tohjiwa.

Ketika utusan tersebut sampai disana, pada saat itu sedang diadakan rapat yang dihadiri utusan dari desa Tenganan Pegringsingan, Seraya, Kuthabayem, Sidatapa, Jimbaranagunung, Padawa, Sukawana, Taro, dan lainnya, tampak juga di dalam rapat tersebut tokoh-tokoh Bali Aga diantaranya Ki Taruhulu, Ki Kayuselem, Ki Wreska, Ki Tarunyan, Ki Badengan, Ki Kayutangi, Ki Celagigentong, Ki Tarum, Ki Panarajon, Ki Kayuputih, Ki Pasek Sukalwih, dan lainnya. Ketika sedang asyiknya mereka berdialaog, datanglah Kyayi Gusti Agung pasek Gelgel bersama I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa. Mereka diterima dengan baik oleh peserta Rapat terutama Kyayi kayuselem. Mereka mengenal betul Kyayi Gusti Agung pasek Gelgel adalah seorang Raja dulunya.

Di pesamuan itu Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel menjelaskan tujuannya ke pada peserta rapat, dan peserta rapat setuju tidak aka memperpanjang persoalan kedua belah pihak lagi jika itu adalah perintah dari Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, tetapi Kyayi Kayuselem memohon kepada Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel untuk tidak mengabaikan tempat pemujan rakyat Bali terutama Kayangan Tiga, Sad Khayangan, terutama Pura Besakih. Setelah masalah tersebut selesai, Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel mengutus salah seorang untuk melaporkan bahwa orang-orang bali aga telah menghentikan pemberontakan, sedangakan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa beserta rombongannya tetap tinggal di Tampurhyang Batur, peristiwa itu terjadi pada tahun Çaka 1274 (tahun 1352 M). kemudian kurang lebih 3 tahun berlalu, pada tahun Çaka 1277 (tahun 1355 M) Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel bersama I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa kembali ke Sampelangan. Ketika itu turut pula beberapa orang pipmpinan orang-orang bali aga, diantaranya Kyayi Kayuselem, Ki Pasek Bali dan lainnya. Sesampai di Sampelangan mereka diterima dengan baik oleh Adhipati. Setelah itu mereka menyampaikan telah mengehentikan pemeberonyakan yang dialkuakn dan memohon untuk tidak mengabaiakn tempat pemujaan orang-orang Bali, dan adhipati berjani tidaka akan mengabaikan tempat-tempat pemujaan dan akan merubah segala kekeliruan yang telah beliau lakukan. Kemudian Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kembali ke Gelgel dan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa kembali ke Desa Kejiwa. Atas kesuksesan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudaranya, itu membuktikan bahwa Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dan masih sangat disegani serta dihormati oleh orang-orang Bali Aga, walaupun beliau tidak lagi menduduki jabatan sebagai Raja.