Kamis, Juli 23, 2009

Sejarah Pasek Gelgel

SEJARAH KELUARGA PASEK DIAMBIL DALAM BUKU


BABAD PASEK

MAHAGOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI


HALAMAN. 163


SEJARAH PEMERINTAHAN

I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

I GUSTI SMARANATHA DAN I GUSTI PASEK GELGEL

DIANGKAT AMANCABHUMI

Raja Çri Gajah Waktra mengangkat I Gusti Bendesa Mas sebagai Amancabhumi selaku penguasa di daerah Mas dan sekitarnya. Pada hari Senin Umanis, wuku Sungsang, musim tanam sasih Karo Tahun Çaka 1257 (Bulan Juli 1335). Juga diangkat keturunan Sang Sapta Rsi lainnya, antara lain I Gusti Smaranathadengan tugas sebagai pengeling (pengawas) Pura Penganggih Batur Desa Gelgel. Sedangkan I Gusti Smaranatha diangkat sebagai amancabhumi dengan abisheka Kyayi Smaranatha. Sedangkan I Gusti Pasek Gelgel diangkat Amancabhumi selaku penguasa daerah berkedudukan di Gelgel bergelas I Gusti Agung Pasek Gelgel, dengan daerah kekuasaannya yaitu Pulau Nusa Penida, Batulahak sampai ke Desa Takmung.

Pada tahun Çaka 156 (tahun 1334 M) di Majapahit terjadi Perubahan dengan diangkatnya Gajah Mada menjadi Maha Patih Hamengkubhumi. Pada suatu pesamuan agung (Rapat Besar) di Majapahit, Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada, mengatakan bahwa dia tidak akan beristirahat apabila seluruh nusantara belum dapat disatukan. Kata-kata beliau itulah yang kemudian disebut Sumpah Palapa, yang menimbulkan kesalahpahaman Raja – Raja di seberang lautan termasuk Raja Çri Gajh Waktra. Sumpah palapa ini dianggap sebagai politik ekspansi daerah dan kekuasaan dari Raja Majapahit, sehingga menimbulakan renggangnya hubungan antara Raja Bali dengan Majapahit. Oleh sebab itu Raja Çri Gajah Waktra dijuliki Bedahulu. Julukan itu diberikan karena berbeda pandangan dengan pemerintahan pusat di Majapahit. Hal itu menyebabkan Raja Majapahit menjadi marah dan memerintahkan Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada untuk menyerang Kerajaan Bali. Namun pada serangan pertama, kerajaan Bali tidak dapat ditundukkan karena kuatnya benteng pertahanan serta gigihnya rakyat bali mempertahankan setiap jengkal daerah kerajaan Bali. Dan pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 M) untuk kedua kalinya kerajaan bali diserang oleh kerajaan Majapahit, dengan mengerahkan pasukan yang cukup besar yang dipimpin langsung oleh Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Dengan tipu muslihat yang digunakan oleh Patih Gajah Mada, akhirnya kerajaan Bali dapat dikalahkan.

Sedangakan Patih Ki Pasung Gerigis dapat ditawan, kemudian ditugaskan untuk menyerang Kerajaan Sumbawa. Sehingga terjadi pertempuran hebat. Di dalam perang tersebut Patih Ki Pasung Gerigis gugur bersama dengan Raja Sumbawa. Kemudian Para Arya yang ditinggalkan di Bali, lalu diberi jabatan untuk memerintah Bali atas jasa-jasanya telah membantu mengalahkan Bali. Mereka antara lain adalah Arya Kuthawaringin ditempatkan di Gelgel, Arya Kenceng di Pucangan (Buahan), Arya Belog (Arya Pudak) di Kaba-Kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Sentong di Pacung, Kryan Punta di Mambal, Kryan Jeruden di Temukti, Kryan Tumenggung di Petemon, arya Sura Wang Bang dari Lasem di Sukanet, Arya Melel Cengkerong di Jembarana, Arya Pamacekan di Bondalem. Sekianlah para penguasa yang ditempatkan oleh Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada.

Sedangakan Maha Patih Kryan Gajah Mada dan sebagian pasukannya kembali ke Majapahit, setelah dijemput oleh Arya Kuda Panolin alias Arya Kuda Pengasih. Kemudian para Arya yang ditempatkan di Bali belum bisa diterima sepenuhnya oleh Rakyat Bali dan mereka masih dendam dan sakit hati akibat peperangan tersebut, dangan kata lain para Arya belum berhasil mengusai Bali, dan rakyat Bali masih mengakui sanak saudara dari Ki Patih Ulung sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian daerah Bali masih dalam kondisi Labil, serta kehidupan sehari-hari tidak teratur.

Kemudian Ki Patih Ulung salah seorang keturunan Sang Sapta Rsi dan juga bekas Mantri pada pemerintahan Raja Bali, tidak sampai hati meliahat keadaan Rakyat Bali yang porak poranda akibat perang tersebut. Beliau menyadari bagaimana perasaan Rakyat Bali Aga yang ditinggalkan oleh pemimpin mereka yang sangat dihormati dan disegani yaitu Raja Bali Çri Gajah Waktra yang telah gugur oleh peperangan tersebut. Ditambah lagi tidak mampunya Arya selaku penguasa daerah mengusai situasi daerah Bali, merupaka beban moral bagi Ki Patih Ulung bersama sanak saudaranya.

I Gusti Agung Pasek Gelgel Diangkat Menjadi Raja

DIANGKATNYA

I GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

MENJADI RAJA

Karena para arya tidak bisa mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Bali, yang penduduknya mayoritas orang Bali Aga, sehingga Bali dalam Kondisi yang labil. Atas prakarsa Ki Patih Ulung, lalu dikirimlah perutusan dari Bali menghadap Raja. Perutusan itu langsung dipimpin oleh Ki patih Ulung yang anggotanya terdiri dari sanak saudaranya yaitu I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, I Gusti Pasek Padang Subrada, I Gusti Bendesa, I Gusti Agung Pasek Gelgel, dan lain-lainnya. Setelah pembicaraan yang dilakukan oleh perutusan dari Bali dengan Majapahit, akhirnya menyerahkan kekuasaan pulau Bali kepada sanak saudara Ki Patih Ulung, sebelum Majapahit mengangkat seorang Adhipati untuk Bali, selama itulah Ki Patih Ulung Berkuasa.

Setelah perutusan itu tiba di Bali segeralah diadakan Rapat besar antara sanak saudara Ki Patih Ulung dengan tokoh – tokoh Bali Aga. Di dalam rapat tersebut di sepakati secara bulat mengangkat I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pemimpin Bali, sebab itu pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 M) I Gusti Agung Pasek Gelgel di nobatkan menjadi Raja di Bali berkedudukan di Gelgel dan berkelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Dengan diangkatnya I Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Raja keadaan Bali berangsur – angsur menjadi membaik, persatuan dan kesatuan tampak mulai muncul kembali sehingga pemerintahan dapat dijalankan kembali, walaupun di sana sini masih perlu dibenahi, demi kesejahteraan Rakyar Bali. Di dalam menjalankan tugasnya selaku pemimpin di Bali. Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel disamping di bantu oleh sanak saudaranya, juga dibantu oleh tokoh – tokoh Bali Aga serta memperoleh simpati dari Para Arya yang berasal dari Majapahit.

Setelah beberapa tahun Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel bertahta sebagai Raja di Bali. Ki Patih Ulung bersama sanak saudaranya kembali ke Majapahit untuk memperoleh informasi apakah Raja majapahit akan menetapkan seorang adhipati untuk daerah Bali. Mengenai hal itu Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada di isyaratkan akan menetapakan seorang adhipati dalam waktu dekat. Kemudian pada purnama sasih kapat tahun Çaka 1272 (Bulan Oktober 1350) Raja majapahit secara terpusat di Majapahit melantik 6 orang adhipati yaitu, Çri Juru untuk Belambangan, Çri Bhima Çakti untuk Pesuruan, Arya Kuda Panolin alias Kuda Pengasih untuk Madura, Arya Dhamar untuk Palembang, Çri Kepakisat (seorang perempuan) untuk Sumbawa, Çri Kresna Kepakisan untuk Bali. Çri Kresna Kepakisan adalah seorang putra bungsu dari Çri Soma Kepakisan. Dengan diangkatnya Çri Kresna Kepakisan maka pucuk kepemimpinan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel berpindah tangan kepada Çri Kresna Kepakisan, dengan demikian berakhirlah masa jabatan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pemimpin di Bali selam 7 tahun. Adhipati Çri Kresna Kepakisan berkedudukan di Sampelangan, daerah Gianyar, dan dipilihnya desa Sampelangan atas petunjuk dari Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada, karena di desa tersebut pasukan Majapahit dikonsentrasikan untuk menyerang Ibu Kota Kerajaan Bali pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 M).

Adhipati Çri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Sampelangan. Pemerintahan beliau menganut system kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali, keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Sampelangan. Mereka lalu melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata. Pemeberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peladu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Taro dan Bayad. Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa

Kemudian Adhipati Sampelangan mencoba memadamkan pemberontakan ini dengan cara mengerahkan pasukan yang berasal dari Majapahit, namun usaha tersebut gagal, hal itu menyebabkan beliau putus asa, sebab itu beliau berniat meletakkna jabatan dan kembali ke Majapahit. Namun sebelum mengambil keputusan, beliau melaporkan situasi ini ke Majapahit, melalui utusan itu Adhipati Sampelangan menyampaikan niat untuk meletakkan jabatannya. Raja Majapahit di damping oleh Maha patih Gajah Mada menerima utusan itu dengan baik, tetapi menolak niat Adhipati sampelangan untuk mengundurkan diri dan tetap menduduki jabatannya. Tatkala itu Maha Patih gajah Mada mengatakan “samapai dimana kekuatan orang-orang Bali Aga yang pernah dikalahkan dulu”.

Melalui utusan yang dikirimkan oleh Adhipati Samplangan ke Majapahit, Raja Majapahit menganugrahkan Adhipati Sampelangan seperangkat pakaina kebesaran, pending emas, keris Ki Ganja Dungkul dan satu keropak lontar yang memuat Sasananing Nithi Praja (Pedoman Kepemimpinan terhadap rakyat). Sedangkan Maha Patih Gajah Mada mengirimkan sepucuk surat untuk adhipati Sampelangan, yang berisi petunjuk untuk mengadakan konsultasi dan kerjasama dengan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudarannya. Menurut Patih Gajah Mada, orang-orang bali Aga masih mengagap Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudaranya adalah pemimpin mereka yang disegani dan dihormati. Apabila strategi ini dijalankan, gajah Mada yakin orang-orang Bali Aga akan mau tuntuk dengan pimpinan adhipati.

Adhipati Sampelangan sangat senang menerima angurah yang diberikan oleh Raja Majapahit dan sepucuk surat yang diberikan oleh Maha Patih Gajah Mada. Beliau segera mengadakan rapat. Disamping para mantra dan pejabat lainnya, di dalam pesauan itu hadir juga Ki Patih Ulung bersama Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, Igusti Pangeran Pasek Tohjiwa, Igusti Pasek Padang Subrada, I Gusti Bendesa dan sanak saudara lainnya. Dalam rapat tersebut adhipati mengutus seorang untuk pergi ke Tampurhyang untuk melakukan perdamaian dan beliau menujuk Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel untuk pergi ke Tampurhyang, mengiat orang-orang Bali Aga sangat menghormati dan disegani oleh orang-orang bali Aga dibantu oleh I Gusti Panegran Pasek Tohjiwa.

Ketika utusan tersebut sampai disana, pada saat itu sedang diadakan rapat yang dihadiri utusan dari desa Tenganan Pegringsingan, Seraya, Kuthabayem, Sidatapa, Jimbaranagunung, Padawa, Sukawana, Taro, dan lainnya, tampak juga di dalam rapat tersebut tokoh-tokoh Bali Aga diantaranya Ki Taruhulu, Ki Kayuselem, Ki Wreska, Ki Tarunyan, Ki Badengan, Ki Kayutangi, Ki Celagigentong, Ki Tarum, Ki Panarajon, Ki Kayuputih, Ki Pasek Sukalwih, dan lainnya. Ketika sedang asyiknya mereka berdialaog, datanglah Kyayi Gusti Agung pasek Gelgel bersama I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa. Mereka diterima dengan baik oleh peserta Rapat terutama Kyayi kayuselem. Mereka mengenal betul Kyayi Gusti Agung pasek Gelgel adalah seorang Raja dulunya.

Di pesamuan itu Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel menjelaskan tujuannya ke pada peserta rapat, dan peserta rapat setuju tidak aka memperpanjang persoalan kedua belah pihak lagi jika itu adalah perintah dari Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, tetapi Kyayi Kayuselem memohon kepada Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel untuk tidak mengabaikan tempat pemujan rakyat Bali terutama Kayangan Tiga, Sad Khayangan, terutama Pura Besakih. Setelah masalah tersebut selesai, Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel mengutus salah seorang untuk melaporkan bahwa orang-orang bali aga telah menghentikan pemberontakan, sedangakan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa beserta rombongannya tetap tinggal di Tampurhyang Batur, peristiwa itu terjadi pada tahun Çaka 1274 (tahun 1352 M). kemudian kurang lebih 3 tahun berlalu, pada tahun Çaka 1277 (tahun 1355 M) Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel bersama I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa kembali ke Sampelangan. Ketika itu turut pula beberapa orang pipmpinan orang-orang bali aga, diantaranya Kyayi Kayuselem, Ki Pasek Bali dan lainnya. Sesampai di Sampelangan mereka diterima dengan baik oleh Adhipati. Setelah itu mereka menyampaikan telah mengehentikan pemeberonyakan yang dialkuakn dan memohon untuk tidak mengabaiakn tempat pemujaan orang-orang Bali, dan adhipati berjani tidaka akan mengabaikan tempat-tempat pemujaan dan akan merubah segala kekeliruan yang telah beliau lakukan. Kemudian Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kembali ke Gelgel dan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa kembali ke Desa Kejiwa. Atas kesuksesan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan sanak saudaranya, itu membuktikan bahwa Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel masih memiliki pengaruh yang sangat kuat dan masih sangat disegani serta dihormati oleh orang-orang Bali Aga, walaupun beliau tidak lagi menduduki jabatan sebagai Raja.

Keturunan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel

KETURUNAN DARI

KYAYI GUSTI AGUNG PASEK GELGEL

Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel memiliki 3 orang istri, dari pernikahan itu mereka memiliki 12 anak laki-laki, yaitu:

I Gusti Pasek Gelgel di Desa Songan

Pada tahun Çaka 1274 (tahun 1352) tatkala memimpin utusan ke Tampurhyang Batur, Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel menikahi Luh Madri, putri Kyayi Kayuselem. Dari pernikahan itu mereka memiliki 2 orang putra laki-laki dan keduanya bernama I Gusti Pasek Gelgel. Ketika Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kembali ke Sampelangan pada tahun Çaka 1277 (tahun 1355) dan kembali ke Gelgel, istri bersama kedua putranya ditinggal di Tampurhyang Batur, namun walaupun jarak antar Gelgel dan Batur cukup jauh dipisahkan hutan luas dan lebat, terkadang istri dan kedua anaknya dijenguk oleh ayahnya. Perjalanan menuju Tampurhyang Batur selain medan yang cukup berat dengan melalui jalan setapak, jalanya juga naik turun bebatuan dan harus menyebarangi danau batur dengan menggunakan perahu kecil yang resikonya juga cukup berbahaya.

Oleh karena Kyayi Kayuselem tidak memiliki keturunan laki-laki, akhirnya Kyayi Kayuselem mengakat I Gusti Pasek Gelgel sulung untuk menjadi pemimpin Rakyat Bali Aga, menggantikan kedudukan Kyayi Kayuselem, pengangkatan itu hanyalah untuk memimpin dan tidak memiliki hak waris. Kemudian Desa Tampurhyang Batur berubah nama menjadi Desa Soangan (Daerah Bangli). Oleh karena I Gusti Pasek Gelgel bertempat tinggal di sebelah utara pasar Songan maka beliau lazim disebut dengan I Gusti Pasek Gelgel Songan, lalu beliau memiliki keturunan yang juga diberi nama I Gusti Pasek Gelgel sama dengan nama Ayahnya. Jabatan sebagai pemimpin orang Bali Aga juga digantikan oleh putranya I Gusti Pasek Gelgel pimpinan orang-orang Bali Aga terdahulu. I Gusti Pasek Gelgel juga sering turun ke bawah utnuk melihat keadaan dan kesejahteraan masyarakat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Dengan demikian I Gusti Pasek Gelgel semakin terkenal dan semakin dicintai oleh orang-orang Bali Aga.

Peristiwa ini menyebabkan was-wasnya Dalem Gelgel ri smara Kepakisan yang dinobatkan pada tahun Çaka 1302 (tahun 1380), apabila tragedy yang pernah menimpa ayahnya yakni Dalem Sampelangan, dengan adanya perlawanan dan pemberontakan orang-orang Bali Aga. Untuk mengetahui keadaan I Gusti Pasek Gelgel di Desa Songan , Dalem Gelgel Çri Smara Kepakisan mengutus Pasek Gelgel dari Banjar Kemoning Desa Galiran daerah Klungkung ke Desa Soangan, dan selanjutnya menetap di Songan dan tinggal di Banjar Kemoning Desa Songan dan bergabung dengan I Gusti Pasek Gelgel Songan serta ikut memujua di Pamerajan I gusti Pasek Gelgel Songan. Dengan berkurangnya daerah kekuasaan dan rakyat Bali aga yang dipimpin oleh I Gusti Pasek Gelgel yang berkedudukan di Songan akhirnya pulau Bali di bagi menjadi beberapa daerah kekuasaan. Orang-orang Balia Aga yang semula bernaung di bawah kekuasaan I Gusti Pasek Gelgel Songan, lalu bernaung dibawah pimpinan daerah setempat, sehingga mulai saat itu kekuasaan I Gusti pasek Gelgel Songan hanya memimpin daerah Soangan dan sekitarnya saja. Dan Dalem Gelgel Çri Smara Kepakisan kemudian membangun sebuah pelinggih di pemerajan I Gusti Pasek Gelgel sebagai pemujaan sampai kepada keturunannya. Dan mulai saat itu keturunan I Gusti Pasek Gelgel tidak lagi menggunakan gelar I Gusti, dan hanya menggunakan sebutan Pasek Gelgel saja. Seterusnya keturuan Pasek Gelgel inilah yang menjadi kepala desa di Songan.

Suatu ketika peristiwa menimpa seorang keturunan Pasek Gelgel di banjar Karangsuwung Desa Peninjoan daerah Bangli, yang membahayakan jiwanya. Sebab itu beliau melarikan diri rumahnya di banjar Karangsuwung Desa Peninjoan menuju Desa Songan. Disana beliau meminta pertolongan kepada Pasek gelgel Songan sehingga terhindar dari bahaya, dan kemudian beliau mentap di Songan dan bergabung dengan Pasek gelgel Songan dan ikut pamerajan Pasek gegel Songan sampai anak cucu dan keturunannya.

Lama kelamaan Pasek Gelgel di Songan, disamping ada yang menetap ada juga yang pindah ke desa lain dan seterusnya menetap di desa barunya. Mereka diantaranya adalah, Pasek Gelgel di Desa Selat Anturan, Pasek Gelgel di Desa Pengelatan, Pasek Gelgel di Lemukin Desa Nangka, Pasek Gelgel di Desa Tambelang, Pasek Gelgel di Desa Bukti, Pasek Gelgel di Desa Sangit Daerah Buleleng, dan lain-lainnya. Kecuali dari mereka semua ada juga Pasek Gelgel Desa Songan yakni Pasek Gelgel di Desa Sukawana, seterusnya menurunkan Pasek Gelgel di Desa Tejakula daerah Buleleng, Pasek Gelgel di Desa Bantang, Pasek Gelgel di Desa Lateng, Pasek Gelgel di Desa Buahan, Pasek Gelgel di Desa Terunyan daerah Bangli, kemudian keturunan Pasek Gelgel di Desa Terunyan menurunkan Pasek Gelgel di Desa Candikuningn daerah Tabanan, Pasek Gelgel di Kubu, Pasek Gelgel di Banjar Pande Desa Cempaga, Pasek Gelgel di Desa Susut daerah Bangli (Lalu menurunkan Pasek Gelgel di Desa di Desa Sanding Tampak Siring Gianyar), Pasek Gelgel di Banjar Siladan Desa Tamanbali, daerah Bangli, serta Pasek Gelgel di Desa Bitera daerah Gianyar, Pasek Gelgel di Banjar Abang Desa Menanga, Pasek Gelgel di Banjar Benakasa Desa Muncan, daerah Karangasem, selanjutnya menurunkan Pasek Gelgel di Banjar Macetra Desa Selat, Pasek Gelgel di Banjar Tiyingan Desa Selat, Pasek Gelgel di Banjar Munti Desa Tianyar, daerah Karangasem.

Kemudian yang terakhir meninggalkan Desa Songan adalah Pasek Gelgel di Desa Abangsongan, daerah Bangli. Ikhwal pindahnya Pasek Gelgel Songan ke Abangsongan adalah, Desa Abang Songan dulunya adalah sebuah banjar di Desa Abang daerah Bangli, sedang Desa abang sebleumnya bernama desa Airawang yang sudah ada sejak pemerintahan Raja Dalem ri Gunaprya Dharmapatni/UdayanaWarmadewa yang berkuasa di Bali. Beliau Bertahta sebagai Raja tidak kurang dari 23 tahun, mulai aka 910 sampai tahun aka 933 (tahun 988 samapi tahun 1011 M). ketika itu penduduk desa Airawang berjumlah 20 kepala keluarga berasal dari Desa Terunyan. Kemudian penduduk Desa Airawang memohon untuk melepasakan diri Desa Terunyan, dan permohonan itu dikabulkan oleh Dalem. Sejak itu Desa Airawang menjadi desa yang berdiri sendiri. Oleh karena desa itu sering di timpa bencana akibat gunung meletus, tanah longsor dan banjir akibat pasangnya air danau, untuk menyelamatkan diri lalu penduduk dari Desa airawang pindah ke Batur diseberang danau Batur. Mulai saat itu di batur terdapat banjar Abang dan pura Abang. Disamping mereka pindah membawa aharta benda dan hewan ternak mereka juga membawa prasasti Desa Airawang, dan selanjutnya disimpan di Pura Abang Desa Batur.

Sejak saat itulah Desa airawang berubah nama menjadi Desa Abang tidak berpenghuni, dan kemudian tempat disekitar desa abang menjadi hutan belantara. Dan kemudian menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Nyalian yang berkuasa adalah keturunan Satrya Tamanbali atau Tirtahaarum. Ketika Nyalian I Dewa Gde Tangkeban berkuasa beliau sangat gemar berburu terutama di hutan bekas desa Abang, karena jarak Nyalian dengan tempat berburu cukup jauh, beliau cukup sering menginap di dalam hutan.

Kemudian agar beliau memiliki tempat beristirahat dan menginap selama berburu, Dalem Nyalian memindahkan 4 keluarga Pasek Tangkas Kori agung dari desa Tegalwangi ke Desa Abang. Disana mereka membangun rumah untuk tempat tinggal dan penginapan Dalem (Raja). Semenjak saat itulah Desa Abang kembali perpenghuni dan Pasek Tangkas Kori Agung adalah keturunan dari Pasek paengeran Tangkas Kori Agung. Sedangkan saudaranya dari desa Tegalwangi oleh Raja Bangli dipindahkan di Hyang Waringin dan kemudian menjadi Desa Kubu, daerah Bangli.

Suatu ketika desa Batudingin yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Nyalian diserang oleh pasukan Taruna Gowak dari Buleleng, dan akhirnya dapat dikuasai, penduduk Desa batudingin tidak dapat menahan lajunya pasukan Buleleng ini jumlah mereka 20 kepala keluarga kemudian meninggalkan desanya dan kembali ke Nyalianseta mempermaklumkan peristiwa ini kepada Dalem nyalian, dan merekapun tidak berani kembali ke desa Batudingin, oleh Dalem Nyalian mereka ditempatkan di Desa Abang dan mulai saat itu desa Abang berpenduduk 24 kepala keluarga. Namun belum ada prebekel untuk pemimpin mereka, oleh sebab itu Dalem Nyalian meminta kepada Raja Bangli yang masih ada kerabat agar berkenan mengangkat seorang Keturunan Pasek Gelgel, prebekel Desa Songan sebagai Prebekel desa Abang. Ketika itu Desa Songan ada dibawah pemerintahan Kerajaan Bangli.

Setelah disetujui oleh Raja Bangli, Prebekel Desa Songan Menolak diangkat menjadi Prebekel Desa Abang, namun setelah didesak oleh Dalem Nyalian, akhirnya beliau mau menjadi Prebekek Desa Abang dengan syarat agar diijinkan mengajak rakyat dari Desa songan, karena beliau belum mengenal betul rakyat yang akan beliau pimpin. Tat kala itu Prebekel Desa songan memiliki 7 orang anak laki-laki masing-masing bernama pertama Gde Pasek Gelgel, kedua Made Pasek Gelgel, Ketiga Nyoman Pasek Gelgel, keempat Ketut pasek Gelgel, kelima Gde Pasek Gelgel, keenam Made Pasek Gelgel, dan yang terakhir Nyoman Pasek Gelgel. Kemudian yang disetujui oleh Pasek Gelgel Prebekel Desa Songan untuk diangkat menjadi Prebekel Desa Abang adalah Anak ketiga yaitu nyoman Pasek Gelgel, ketika itu yang bertahta adalah Dalem I Dewa Gde Tangkeban.

Pada sekitar tahun Çaka 1522 betepatan dengan sasih kapat (Oktober 1600 M) berangkatlah Nyoma Pasek Gelgel beserta 15 kepala keluarga rakyat songan yang seluruhnya terdiri dari warga Pande Wesi menuju desa Abang dengan menggunakan perahu.ketika sampai di tengan sungai terjadilah peristiwa yang membahayakan mereka yakni ombak besar yang hampir menenggelamkan mereka, ketika kejadian itu mereka bersumpah apabila sampai di Desa Abang dengan selamat mereka akan menyelanggarakan suatu yajna sebagai tanda terima kasih kepada para leluhur dan Hyang Widhi Wasa. Dan akhirnya mereka berhasih sampai di desa Abang dengan selamat.

Sejak itu Desa Abang berpenduduk sebanyak 40 kepala keluarga dan dijadikan 3 buah banjar sesuai dengan asal mereka.

1. Banjar Tangkas penduduknya adalah Pasek Tangkas Kori Agung yang berasal dari Desa Tegalwangi, daerah Klungkung.

2. Banjar Batudingin penduduknya adalah orang-orang yang berasal dari Desa Batudingin daerah Karangasem.

3. Banjar Abangsongan penduduknya adalah orang-orang yang berasal dari Desa Songan yaitu Nyoman Pasek Gelgel beserta pengiringnya.

Dan sebagai prebekel (pemimpinnya) adalah Nyoman Pasek Gelgel yang kemudian diangkat juga menjadi Jro Pasek (Bendesa Desa Adat) Abang. Dan kemudian beliau melakukan Dwijati sebagai rohaniawan dengan gelar Jro Gde, sedangkan gelar Jro Gde digunakan oleh Orang-orang Bali Aga sebagai sulinggih. Selanjutanya Nyoman Pasek Gelgel atau Jro Pasek atau Jro Gde Pasek Desa Abang memiliki 4 keturunan yaitu: pertama bernama Gde Pasek Gelgel, kedua perempuan bernama Ni Wayan Mongkerog (menikah dengan orang cina) yang ketiga laki-laki bernama Made Sangku dan yang terakhir adalah Made Rotha. Made Sangku dan Made Rotha berkomitmen menjadi sukla brahmacari atau tidak menikah seumur hidup, sehingga tidak ada keturunan.

Adapun Gde Pasek Gelgel lalu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Prebekel Desa Abang, kemudian diangkat menjadi Jro Pasek ( Pemimpin Desa Adat) Abang, dan kemudian diangkat pula menjadi sulinggih bergelar Jro Gde. Pasek Gelgel, kemudian memiliki seorang putra bernama Gde Abian. Saat itu kerajaan Nyalian diserang oleh kerajaan Klungkung dan terjadilah petempuran sengit antara kerajaan Nyalian dan Kerajaan Klungkung, oleh karena pasukan dari Kerajaan Klungkung dari jumlah pasukan dan senjata jauh lebih lengkap, akhirnya kerajaan nyalian dapat dikalahkan. Dengan gugurnya Dalem Nyailan I Dewa Gde Tangkeban beserta sanak saudaranya. Seorang anak kecil putra dari Dalem Nyalian I Dewa Gde Tangkuban dapat diselamatkan oleh ibunya dan dilarikan ke Bangli. Sesampai di Bangli lalu diangkat anak oleh I Dewa Ayu Den Bancingan Ratu Bangli. Ketika lari dari Nyalian sempat bembawa sepucuk keris pusaka kerajaan Nyalian bernama Ki Lobar.dan menjadi pusaka Kerajaan Bangli. Dengan kalahnya kaerajaan Nyalian, daerah – daerah kekuasaan Nyalian dibagi, sedangkan desa Abang dijadikan daerah dibawah kerajaan Bangli.

Adapun Gde Pasek Gelgel Prebekel desa Abang yang juga berkedudukan sebagai Jro Pasek sangatlah sukses menjalankan tugasnya sekalu pemimpin, karena keberhasilannya itulah banyak orang yang iri dan ingin melenyapkan Gde Pasek Gelgel. Mereka bercita-cita mengambil kedudukan sebagai Prebekel, sebab itu Gde Pasek Gelgel di fitnah yang bukan-bukan, dan akibat fitnahan itulah Raja Bangli langsung saja percaya tanpa menyelidiki kebenarannya. Dan kemudian mengutus sesorang untuk membunuh Gde Pasek Gelgel. Gde Pasek gelgel di bunuh di Desa Belahpane di sebelah utara Desa Tulikup tanpa berdosa.

Setelah dibunuhnya Gde Pasek Gelgel, Desa Abang tidak memiliki Prebekel, dan tidak ada satu orangpun yang mau menjadi Prebekel Desa Abang walaupun sudah diusahakan oleh Raja Bangli. Oleh sebab itu, Raja bangle memanggil jada dari Gde Pasek Gelgel di Desa Abang dan meminta agar mau menyerahkan anaknya yaitu Gde Abian untuk menjadi Prebekel Desa Abang, namun permintaan itu ditolak oleh Janda dari Gde Pasek Gelgel dengan alasan apabila nanti Gde Abian menjadi Prebekel Desa Abang, ia takut ada lagi fitnah dan anaknya akan di bunuh. Jika itu terjadi, maka ia tidak memiliki keturunan, sebab Gde Abian adalah anak tunggal. Kemudian Raja bangle berjanji tidak akan memberikan hukuman apapun termasuk hukuman mati kepada Gde Abian walaupun ia berbuat kesalahan. Mulai saat itu Gde Abian dan keturunannya diberikan kedudukan istimewa disebut kawula kawisuddha, tidak boleh dikenakan hukuman, termasuk hukuman mati. Dan didalam melakukan upacara pitra yajna boleh memakai segala perlengakapan seperti yang diamanatkan oleh leluhurnya, sampai pada keturunannya.

Mulai saat itu Gde Abian diangkat menjadi Prebekel Desa Abang dan bergelag Gde Pasek Gelgel serta diangkat menjadi Jro Pasek dan di dwijati menjadi sulinggih bergelar Jro Gde. Sejak itu Prebekel di wilayah kintamani oleh Raja Bangli diangkat dari keturunan Pasek Gelgel desa Songan, antara lain Desa Sukawana, Pinggan, Belandingan, Terunyan dan lain-lainnya. Kemudian Gde Abian yang bergelar Gde Pasek Gelgel Desa Abang memiliki empat anak laki-laki yaitu, pertama adalah Gde Mudarai atau Gde Widharai, kedua Made Manggarai, yang ketiga meninggal dalam kandungan di beri gelar Nyoman Alit atau Dewa alit, dan yang terakhir bernama Nyoman Dasaran. Dan yang menggantikan ayahnya menjadi Prebekel Desa Abang adalah anak pertamanya yaitu Gde Mudarai atau Gde Widharai, bergelar Gde Pasek Gelgel, kemudian diangkat menjadi Jro Pasek kemudian diangkat lagi menjadi Jro Gde Desa Abang. Ia memiliki tiga orang istri, masing-masing bernama Ni Nyoman Cenik dari Desa Besakih, daerah Karangasem, Ni Nengah Bhakti dari Desa Abang, Ni Nengah Sayan Ngenteg dari Desa Abang.

Dari Ni Nyoma Cenik memiliki empat keturunan yaitu pertama meninggal dunia (tidak disebut namanya), yang kedua perempuan bernama Ni Made kembang Kuning ( menikan dengan warga pande wesi), yang ketiga menggal dunia (tidak disebut namanya), dan yang ke empat bernama Ni Ketut Tinggen (menikah dengan warga Pasek). Kemudian dari istri yang bernama NI Nengah Bhakti memiliki keturunan dua anak, laki-laki dan perempuan, yang pertama perempuan bernama Ni Wayan Widhiasih atau Ni Wayan Diasih, yang kemudian menjadi balian di desa Abang dan menikah dengan pasek panida keturunan Mpu Dangka di Desa Penida, daerah Bangli, yang kedua laki-laki bernama Made Sabda yang kemudian diangkat menjadi Prebekel Desa Abang bergelar Made Pasek dan diangkat menjadi Jro Pasek dan diangkat agi menjadi Jro Pasek Desa Abang.

Adapun Made Manggarai menikah dengan NI Ketut Nurjani dari Desa Abang, dari pernikahannya itu memiliki Sembilan anak, laki-laki dan perempuan, yang pertama Ni Wayan Nukasih, kedua laki-laki Made Diasih ( menjadi pemangku di Pura Dukuh Desa Abang), ketiga laki-laki bernama Nyoma Keresek, keempat perempuan Ni Ketut Puget, yang kelima perempuan Ni Wayan Mertha, yang keenam laki-laki Made Nuadhi atau Made Dasaran Renteb, ketujuh laki-laki bernama Nyoman Nunganti, kedelapan meninggal dunia (tidak disebut namanya), kesembilan laki-laki Ketut Nungalih. Kemudian Nyoman Dasaran menikah dengan Ni wayan Lipur dari Desa Abang, lalu memilki lima orang anak yaitu Ni Wayan Sada, yang kedua meninggal dunia, yang ketiga meninggal dunia, dan yang keempat Ni Ketut Serica dan yang terakhir bernama Ni Ketut Nurati.

Kemudian yang menggantikan kedudukan Gde Mudarai yang bergelar Gde Pasek Gelgel sebagai Prebekel Desa Abang adalah Made Sabda dengan gelar Made Pasekyang kemudian diangkat menjadi Jro Pasek Desa Abang, kemudian diangkat pudgala sebagai sulinggih bergelar Jro Gde. Dan kemudian menikah dengan Ni Wayan Aris dari Desa Abang warga Pande Wesi dan Ni Nengah Open dari Desa Abang warga pasek Tangkas Kori Agung. Selanjutnya Made Diasih yaitu pemangku Pura Dukuh Desa Abang menikah dengan Ni Ketut Seribek Dari Desa Abang. Adapun Nyoman Keresek menikah dengan Ni Nyoman Ketip atau NI Nyoman Liip, sedang Made Nuadi menikah dengan Ni wayan Sada dan Nyoman Nunganti menikah dengan Ni Wayan Nadi dari Desa Abang.

Selanjutnya Made Sabda yang bergelar Made Pasek atau Jro Pasek atau Jro Gde, dari istrinya bernama Ni Wayan Aris memiliki Sembilan anak laki-laki dan perempuan, yaitu; pertama Ni Wayan Ketug atau Ni Wayan Niar, kedualaki-laki bernama Made Giweng, ketiga laki-laki Nyoman Guwet atau Jro Sedahan, keemapat laki-kali Ketut Cakeg atau Ketut Pasek, kelima perempuan Ni wayan Keceg, keenam perempuan Ni Made Nyabereg, ketujuh, kedelapan dan kesembilan meninggal dunia ( tiadak disebukan namanya). Dari istri yang bernama Ni Nengah Open memiliki 11 anak yaitu; pertama meninggal, kedua Ni Wayan Sumadri, ketiga Ni Made Rumanci, yang keempat laki-laki meninggal dunia, kelima Ni Nyoman Rumaning, keenam Ni Ketut Sugandika, ketujuh Ni Wayan Lepo, kedelapan Ni Made Mandalika, kesembilan Ni Nyoman Ronce, kesepuluh laki-laki Ketut Oka atau Ketut Soebandi yang kemudian menjadi Jro Mangku Gde di Pura Desa dan Puseh Desa Abang Songan, dan yang kesebelas perempuan meninggal dunia..

Setelah penduduk Desa Abang berkembang, dan ketika Made Sabda yang bergelar made Pasek atau Jro pasek serta me dwijati menjadi Jro Gde, desa Abang dibagi menjadi dua buah desa pemerintahan dan desa adat yaitu Desa Abangsongan dan Desa Abang Batudungding. Made Sabda alias Made Pasek mulai saat itu menjadi prebekel Desa Abangsongan. Dari jaman Desa Abangsongan dibagi menjadi dua jabatan prebekel selalu dipegang oleh Pasek Gelgel yang berasal dari Desa Songan yaitu keturunan dari I Gusti Pasek Gelgel desa Songan. Kemudian kedudukan Made Sabda yang bergelar Made Pasek selanjutnya diangkat menjadi Jro Pasek Desa Abangsongan namun tidak di dwijati menjadi Jro Gde. Sedangakan Ketut Cekeg atau Ketut Pasek kemudian menjadi pimpinan agama di Desa Abangsongan bergelar Jro Putus.

Selanjutnya Made Diasih memangku jabatan selaku pemangku di Pura Dukuh yang kemudian memilki enam anak yaitu; pertama Ni Wayan swanda, kedua Ni Made Nyenyer atau Ni Made Ketur, ketiga Ni Nyoman Nuraba, keempat Ni Ketut Bagiada, kelima laki-laki bernama Wayan Sinah (menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemangku Pura Dukuh) ke enam Ni made Sukanganti atau Ni Made Rupet. Kemudian Nyoman Keresek memiliki dua orang anak yaitu Wayan Medal lalu menjadi kubayan, kedua perempuan Ni Made Titen. Selanjutnya Made Nuadi atau Made Dasaran Renteb memiliki lima orang anak laki perempuan yaitu; pertama meninggal dunia, kedua perempuan Ni Made Miwa, ketiga perempuan Ni Nyoman Nuladra, keempat perempuan Ni Ketut Nuladri, keliama laki-laki bernama Wyan kabeh atau Wayan Pasek Parsua. Sedangkan Nyoman Nunganti memiliki 12 anak laki dan perempuan yaitu; pertama Ni Wayan Seriman, kedua meninggal dunia, ketiga Ni Nyoman Tangsi, keempat Ni Ketut Kantor, kelima Wayan Pukuh atau Wayan Dharma ( yang kemudian menjadi pemangku di pemerajan/Pura dadya). Pasek gelgel di Desa Abangsongan, Ni Made Togog, Nyoman Benceng, Ketut Naberang atau Ketur Narda, Ni Wayan Riming, Ni Made Nurinih, Ni nyoman Terbang dan Ni Made Rinih, akhirnya mereka inilah yang kemudian menurunkan Pasek Gelgel di Desa Abang Soangan, daerah Bangli yang terhimpun dalam pamerajan atau Pura Dadya Pasek Gelgel di Desa Abangsongan, daerah Bangli. Demikianlah cikal bakal Pasek Gelgel di Desa Abangsongandaerah Bangli, keturunan dari I Gusti Pasek Gelgel di Desa Songan daerah Bangli dan I Gusti Pasek Gelgel Desa Soangan adalah putra dari Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.